Mataram, suarabumigora.com - Organisasi rumah sakit ibarat tubuh manusia: ia hanya akan tegak dan bergerak seimbang bila seluruh strukturnya berfungsi sesuai peran. Kepala memikirkan arah, tangan bekerja, dan punggung menopang beban. Namun di banyak rumah sakit, ada satu bagian yang fungsinya semakin terpinggirkan-yakni middle manager, tulang punggung sistem manajerial yang terlalu sering diloncati dalam jalur koordinasi dan pengambilan keputusan.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam keseharian birokrasi pelayanan kesehatan, kita menyaksikan bagaimana pimpinan puncak kerap langsung memberi instruksi kepada staf teknis, melewati jenjang manajerial menengah yang seharusnya menjadi penghubung utama antara visi strategis dan pelaksanaan teknis. Kebiasaan ini tampak efisien, namun sesungguhnya menyimpan kerapuhan sistemik yang merugikan dalam jangka panjang.
Masalah yang Terjadi di Lapangan
Ketika middle manager diloncati, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang perannya dilewati, tapi juga oleh sistem organisasi secara keseluruhan. Beberapa konsekuensi nyata di lapangan antara lain:
- Jalur koordinasi menjadi kabur dan tidak efektif.
- Staf teknis menerima arahan langsung tanpa integrasi dengan kebijakan yang sedang berjalan.
- Middle manager kehilangan otoritas, tanggung jawab, bahkan motivasi.
- Tidak ada penyaring keputusan, sehingga kebijakan bersifat reaktif dan tidak berkelanjutan.
- Akuntabilitas menjadi kabur: ketika terjadi kesalahan, sulit melacak siapa yang bertanggung jawab.
- Staf atau pejabat yang dipercaya secara langsung oleh pimpinan untuk melangkahi middle manager menjadi sangat dominan, menciptakan kesan superioritas dan membuka ruang terjadinya abuse of power.
Kondisi ini menyebabkan organisasi rumah sakit kehilangan kesinambungan, ritme kerja terganggu, dan suasana kerja dipenuhi dengan kebingungan serta ketidakpastian.
Apa yang Seharusnya Terjadi
Secara ideal, middle manager memiliki peran krusial dalam menyelaraskan strategi dan pelaksanaan. Mereka memahami realitas lapangan, mengelola proses operasional, serta menjaga agar semua unit berjalan dalam arah yang sama. Dalam kerangka organisasi, middle manager bukan hanya penghubung administratif, melainkan penyeimbang dan penggerak sistem.
Regulasi seperti Permenkes No. 3 Tahun 2020 dan Permendagri No. 79 Tahun 2018 telah menempatkan posisi manajemen menengah sebagai bagian penting dalam struktur organisasi rumah sakit. Sayangnya, dalam praktik, keberadaan mereka sering kali tidak difungsikan sesuai mandatnya.
Dari sisi teori manajemen, Mintzberg (1979) menjelaskan bahwa middle manager adalah penghubung antara strategic apex dan operating core. Jika bagian ini dilewati, maka proses pengambilan keputusan akan kehilangan dimensi operasional yang realistis. Bahkan menurut kajian Harvard Business Review, organisasi yang sering meloncati peran middle manager akan mengalami stagnasi inovasi, kelelahan staf, serta lemahnya efektivitas jangka panjang.
Akar Masalah: Budaya Micromanagement
Kebiasaan meloncati middle manager sering kali berasal dari budaya micromanagement yang belum ditinggalkan. Pimpinan merasa harus mengatur semua detail teknis, padahal seharusnya mereka berfokus pada arah strategis dan pengembangan organisasi.
Micromanagement bukan hanya mempersempit ruang gerak staf, tetapi juga merampas kepercayaan struktural. Ketika pimpinan terlalu sering "turun tangan", staf teknis menjadi ragu, dan middle manager menjadi pasif karena merasa tidak diberi ruang untuk menjalankan tugasnya. Lama-kelamaan, organisasi akan terbiasa dengan struktur informal, yang rapuh, tidak terukur, dan bergantung pada siapa yang sedang berkuasa.
Solusi yang Dibutuhkan
Untuk memperbaiki kondisi ini, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan secara serius dan sistematis:
Kembalikan fungsi middle manager sebagai simpul koordinasi utama. Semua instruksi dan kebijakan sebaiknya disampaikan melalui jalur struktural yang benar. Libatkan middle manager dalam penyusunan rencana kerja, anggaran, serta evaluasi organisasi. Hindari pola kepemimpinan yang terlalu teknis. Biarkan pelaksanaan diatur oleh unit yang memahami proses lapangan.
Bangun budaya profesional yang menghormati struktur. Kepercayaan adalah pondasi sistem.
Berikan pelatihan kepemimpinan, manajemen perubahan, dan literasi digital kepada middle manager. Peran mereka akan semakin penting dalam konteks transformasi pelayanan publik.
Manfaat Bekerja Sesuai Struktur
Mengembalikan proses kerja sesuai struktur organisasi dan regulasi bukan hanya soal kepatuhan, melainkan upaya membangun sistem yang lebih sehat dan berkelanjutan. Ketika struktur organisasi dijalankan secara utuh:
- Keputusan menjadi lebih terkoordinasi dan berbasis data lintas unit.
- Tanggung jawab dan akuntabilitas menjadi jelas.
- Middle manager merasa dihargai dan terdorong untuk berinovasi.
- Staf teknis bekerja dengan tenang dan fokus karena instruksi konsisten dan tidak saling tumpang tindih.
- Budaya profesional yang menghargai sistem, bukan sekadar kedekatan personal, dapat tumbuh.
- Risiko konflik kepentingan dan abuse of power bisa ditekan karena kontrol distribusi wewenang berjalan sehat.
- Dengan sistem yang bekerja sesuai struktur, organisasi rumah sakit akan memiliki fondasi yang kuat untuk berkembang, berinovasi, dan memberikan pelayanan yang konsisten serta berkualitas.
Penutup: Saatnya Kita Berbenah
Meloncati middle manager bukan sekadar melewatkan satu posisi. Itu berarti mengorbankan proses, sistem, dan daya tahan organisasi. Jika ini terus dibiarkan, rumah sakit akan tumbuh tidak proporsional-penuh kebijakan di atas, sibuk teknis di bawah, tapi kosong di tengah.
Sudah saatnya kita kembali menghargai struktur organisasi secara utuh. Memberikan kepercayaan pada middle manager bukan hanya soal menghormati jabatan, tetapi soal menjaga organisasi agar bisa berjalan konsisten, sehat, dan siap menghadapi tantangan ke depan. Tanpa itu, kita akan terus mengulang pola kerja darurat, yang terlihat sibuk tapi tidak pernah benar-benar berkembang.(*)
0 Komentar