Breaking News

6/recent/ticker-posts

Ketika Loyalitas Pegawai ‘Diuji’, sebuah Perspektif ASN | Suara Bumigora

 

Oleh:  Anugrah Fajar Fahrurazie, S. IP, M. Si

Mataram, suarabumigora.com - Beberapa tahun terakhir, saya diberi amanah sebagai pejabat administrator di sebuah rumah sakit pemerintah yang sedang bertumbuh. Tidak mudah, tapi justru dari posisi ini saya belajar bahwa loyalitas pegawai tidak selalu tumbuh dari tempat yang nyaman. Ia justru sering muncul dari ruang-ruang sempit, dari kursi yang keras, dari ruangan yang pengap, dan dari rutinitas tanpa sorotan.

Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana banyak pegawai bekerja dalam sunyi. Menyusun laporan hingga malam, memastikan sistem berjalan meski server sempat ngadat, tetap menyapa pasien dengan ramah walau keluhan sendiri tak pernah terdengar. Mereka adalah wajah sejati pelayanan publik yang sering luput dari pemberitaan, tapi menjadi penyangga utama organisasi.

Loyalitas Itu Seperti Mesin Tua yang Masih Hidup

Kalau boleh dianalogikan, loyalitas itu seperti mobil tua yang mesinnya sudah lelah, tapi tetap bisa diandalkan untuk perjalanan jauh. Ia tidak lari kencang, tapi tidak pernah mogok di tengah jalan. Tapi tentu, mesin sekuat apa pun perlu pelumas. Dan itulah yang terkadang kita lupa.

Dalam banyak teori perilaku organisasi, loyalitas bukan sesuatu yang muncul karena sistem gaji atau tunjangan. Menurut Stephen P. Robbins, ada tiga bentuk komitmen organisasi: afektif (emosional), normatif (rasa tanggung jawab moral), dan berkelanjutan (kalkulasi untung-rugi). Di lingkungan birokrasi publik, saya yakin yang paling banyak bekerja hari ini adalah mereka yang digerakkan oleh komitmen afektif dan normatif.

Pemimpin Tidak Perlu Sempurna, Tapi Harus Hadir

Saya tidak bicara dari posisi serba tahu. Tapi dari tempat saya berdiri, saya belajar bahwa kehadiran pemimpin itu penting. Bukan hadir untuk mengawasi, tapi hadir untuk menguatkan.

Herzberg dalam The Motivation to Work menyebut bahwa penghargaan, pengakuan, dan rasa memiliki adalah faktor kunci motivasi. Kouzes dan Posner bahkan menekankan bahwa pemimpin harus “encourage the heart”—memberi semangat dan makna, bukan hanya target.

Dalam rapat-rapat teknis, saya semakin percaya bahwa keberhasilan organisasi bukan hanya soal struktur, tapi soal suasana batin. Pegawai yang merasa dihargai akan tetap berjalan, meski jalannya naik turun. Tapi yang merasa diabaikan, pelan-pelan akan mundur, diam-diam.

Bekerja Sesuai Kewenangan: Merawat Etika Organisasi

Tapi loyalitas staf juga perlu dilindungi. Salah satu ancaman paling nyata adalah saat ada pihak yang secara sadar atau tidak melangkahi batas kewenangannya. Seolah-olah semua bisa ditentukan sendiri, tanpa proses, tanpa komunikasi lintas bidang, dan kadang tanpa mempertimbangkan dampaknya ke bawah.

Sebagai pejabat administrator, saya meyakini pentingnya menjaga kerja sesuai tupoksi. Bukan untuk membatasi peran, tapi justru untuk mencegah abuse of power. Ketika kewenangan digunakan secara semena-mena tanpa dialog, tanpa mekanisme, tanpa menghargai struktur yang dirusak bukan hanya kinerja tim, tapi juga rasa keadilan di dalam organisasi.

Undang-undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 sudah mengatur dengan jelas prinsip-prinsip profesionalitas dan integritas. Dan dalam setiap organisasi, regulasi internal seperti pembagian tugas, SK struktur, hingga alur kerja bukan sekadar formalitas, tapi bentuk penghormatan terhadap sistem.

Bekerja sesuai kewenangan ibarat bermain musik dalam orkestra. Masing-masing punya peran. Jika satu instrumen mendominasi seenaknya, maka harmoninya rusak. Tapi bila setiap pemain tahu kapan harus masuk dan kapan menahan nada, musik yang dihasilkan akan indah.

Menjaga Loyalitas adalah Menjaga Nyawa Lembaga

Saya percaya bahwa loyalitas adalah aset tak ternilai. Ia tidak bisa dibeli, tapi bisa dipupuk. Dan yang bisa memupuknya adalah pemimpin yang tahu bahwa pekerjaan birokrasi bukan hanya soal laporan, tapi soal relasi. Bukan hanya soal aturan, tapi soal rasa.

Karena pada akhirnya, loyalitas itu bukan soal siapa yang paling lama bertahan. Tapi siapa yang tetap bisa tersenyum saat bertahan. Dan itu hanya mungkin jika pemimpinnya hadir tidak harus sempurna, tapi sungguh-sungguh peduli dan bekerja dengan etika serta batasan yang jelas.

Posting Komentar

0 Komentar