Penulis ; Darsono Yusin Sali (Komisioner KPID NTB)
Mataram, suarabumigora.com - Pasca keluar dari jeruji besi, nama Saipul Jamil semakin moncer. Pasalnya, ekspresi sebagian orang, terutama keluarga, penggemar, dan industri televisi dalam menyambut SJ dianggap tidak lazim. Penyambutan kebebasan SJ bak pahlawan. Kalau melihat dari poto-poto yang beredar luas, ada prosesi pengalungan bunga. Sebuah prosesi yang biasa dilakukan untuk menyambut para pahlawan olahraga atau atlet berprestasi setibanya di Tanah Air.
Rupanya, cara penyambutan terhadap SJ membuat reaksi publik jengah. Bahkan seketika ada seruan boikot. Agar SJ tidak tampil di TV. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tidak mau keduluan. KPAI lebih cepat mengeluarkan maklumat agar masyarakat Indonesia tidak menonton SJ di layar TV.
Publik juga mendorong agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak tegas. Bahkan dukungan artis terhadap KPI kian meluas. Mereka menilai, disinilah saatnya KPI jadi pahlawan. Caranya dengan segera mengeluarkan sikap tegas terhadap lembaga penyiaran yang mencoba memberi panggung terhadap SJ.
Berkebalikan dengan masyarakat yang merasa resah, industri televisi justeru sebaliknya. Melihat SJ sebagai buah yang akan mendatangkan madu. SJ akhirnya tampil di Kopi Viral Trans TV tanggal 3 September 2021. Publik semakin dibuat geram. Akhirnya pihak Trans TV mengevaluasi program dan meminta maaf secara luas.
Lalu bagaimana harusnya kita melihat persoalan ini?
Pertama, harus dipahami psikologi publik bahwa kemarahan mereka atas glorifikasi terhadap SJ sangat wajar. Terlebih SJ diberikan panggung tampil di TV. Hal itu karena sejatinya frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran untuk bersiaran merupakan milik publik. Karena milik publik, publik berhak tahu konten apa yang akan ditayangkan. Guna memastikan frekuensi telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, untuk itulah publik mengawasi lembaga penyiaran.
Jangan sampai frekuensi milik publik yang dipinjamkan kepada lembaga penyiaran untuk bersiaran, tidak memberikan manfaat karena programnya tidak bermutu. Sehingga saya melihat, kemarahan publik atas SJ bukan semata-mata karena kasus pedofilia yang menjerat SJ. Melainkan karena mereka ingin memastikan frekuensi milik publik digunakan dengan sebaik-baiknya.
Kedua, SJ harus dudukan secara objektif. Bahwa SJ sama dengan mantan narapidana kasus terorisme, koruptor, narkoba dan lainnya. Mereka dipenjara dan menjalani masa tahanan sesuai dengan putusan pengadilan. Untuk SJ dengan kasus yang menjeratnya, telah menerima ganjaran hukuman delapan tahun penjara. Tentu saja bukan waktu yang singkat.
Selama delapan tahun itu pula, SJ hidup bukan sebagai manusia normal. Kebebasan dan kemerdekaan sebagai inti kemanusiaan tidak diperoleh SJ selama berada di dalam sel. Meski hidup abnormal, namun mereka mendapatkan pembinaan. Itulah makna lembaga pemasyarakatan. Itu berarti, mereka yang sudah menjalani hukuman dan akhirnya bebas, secara normatif telah lulus dalam proses pembinaan hidup. Untuk itu, mereka berhak hidup sebagai manusia normal lagi.
Ketiga, publik salah alamat ketika meminta KPI untuk melarang lembaga penyiaran menayangkan SJ. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang menjadi kitab mulia rujukan dunia penyiaran tidak mengatur hal tersebut. P3SPS hanya menjabarkan larangan terhadap program yang menayangkan konten bla bla bla. Jika konten itu melanggar, disitulah KPI akan bertindak. Bukan melarang orang untuk tampil mencari rizki. KPI tidak punya kewenangan memutus mata rantai rizki orang. Lagi pula SJ dalam pandangan subjektif penulis, sudah kembali sebagai manusia normal. Sehingga tidak ada persoalan jika seandainya kembali tampil di layar kaca.
Surat edaran yang dikeluarkan KPI Pusat sudah tepat. Meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi (membesar-besarkan dengan mengulang dan membuat kesan merayakan) terhadap SJ. KPI juga meminta lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yg telah menimpanya dan tidak membuka kembali trauma korban.
Di luar itu, berbagai reaksi publik terhadap SJ setidaknya memberikan gambaran terhadap dua hal. Pertama, literasi media publik semakin hari semakin baik. Kesadaran akan tanggung jawab moral yang diperlihatkan publik sangat positif di tengah berbagai kompleksitas tantangan dunia penyiaran kedepan. Menjaga kesadaran publik agar tetap waras seperti ini sangat penting dilakukan.
Kedua, KPI sebagai regulator dunia penyiaran mendapatkan efek domino terhadap peristiwa ini. Paling tidak publik semakin kenal KPI. Publik semakin tahu kemana mereka harus melapor jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran. Di samping itu, berbagai perdebatan hari-hari belakangan ini harus dilihat sebagai momentum yang tepat bagi keluarga besar KPI untuk segera menuntaskan revisi P3SPS dan revisi UU 32 tahun 2002. Tidak ada kata lain selain harus tuntas. Zaman sudah berubah. Tantangan dunia penyiaran juga berubah. P3SPS dan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran harus direvisi biar tidak kelihatan usang, titik!. (lws)
0 Komentar