![]() |
Oleh: Dr. Bajang Asrin
|
Mataram, suarabumigora.com - Ketika Menteri Pendidikan Prof. Anies R. Baswedan pada 2014 menyatakan bahwa Kurikulum 2013 perlu dievaluasi karena pelaksanaannya tergesa-gesa dan terkesan dipaksakan (Kompas, 25/11/2014), publik mulai menyadari bahwa arah pendidikan nasional kita masih kuat berada dalam genggaman birokrasi. Hasil kajian Tim Evaluasi Kurikulum yang diketuai Prof. Suyanto (Kompas, 2/12/2014) juga menyimpulkan hal serupa: Kurikulum 2013 sebenarnya cukup baik, namun penerapannya dilakukan terburu-buru.
Fakta di lapangan memperkuat temuan tersebut. Laporan Kompas (10/2/2016) di beberapa sekolah di Jakarta — seperti SMAN 21, SMAN 79, dan SMAN 57 — mengungkapkan bahwa penerapan Kurikulum 2013 sulit dijalankan, terutama dalam aspek penilaian dan pola belajar siswa.
Lalu, muncul Kurikulum Merdeka pada masa Menteri Nadiem Makarim. Kurikulum ini menonjolkan penggunaan platform teknologi dan penguatan Profil Pelajar Pancasila, yang pada dasarnya merupakan hasil pengembangan dari kurikulum sebelumnya dengan sentuhan inovasi digital dan pembelajaran yang lebih kontekstual. Kini, di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’thi, wacana penguatan pendekatan deep learning muncul sebagai arah baru pengembangan pendidikan nasional, dengan fokus pada literasi abad ke-21.
Menurut Michael Fullan dkk. (2018) dalam bukunya Deep Learning: Engage the World, Change the World, terdapat enam kompetensi utama (6C) yang menjadi fondasi pendidikan bermakna, yaitu: Character, Citizenship, Collaboration, Communication, Creativity, dan Critical Thinking. Keenam aspek ini diyakini mampu melahirkan proses belajar yang cerdas, bermakna, dan menyenangkan.
Lebih jauh ke belakang, Ralph W. Tyler (1973) dalam karya klasiknya Basic Principles of Curriculum and Instruction menegaskan bahwa ada empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam merancang kurikulum, yaitu:
1. Tujuan apa yang ingin dicapai sekolah?
2. Pengalaman belajar apa yang dapat membantu mencapai tujuan itu?
3. Bagaimana pengalaman belajar tersebut diorganisasikan secara efektif?
4. Bagaimana cara menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?
Pertanyaan-pertanyaan Tyler ini menunjukkan bahwa kurikulum bukanlah dokumen statis, melainkan proses dinamis yang menuntut relevansi dan fleksibilitas tinggi terhadap konteks sosial, budaya, dan kebutuhan daerah.
Dengan demikian, identifikasi tujuan pendidikan di tingkat sekolah menjadi fondasi utama dalam konstruksi kurikulum. Sekolah dengan visi dan misi yang kuat akan lebih mudah membangun budaya mutu, yang pada gilirannya mendorong peningkatan kualitas input, proses, dan output pendidikan. Tanpa penguatan budaya mutu, kurikulum hanya akan menjadi dokumen administratif yang kehilangan makna dalam konteks kebutuhan peserta didik yang sesungguhnya.
Kurikulum seharusnya tidak menjadi “harga mati” bagi sekolah-sekolah, tetapi menjadi pemacu inovasi konseptual dan praktis untuk memajukan pendidikan di tengah dinamika global dan perkembangan industri tanpa batas. Di banyak perusahaan multinasional, misalnya, sudah berkembang konsep multicultural intelligence — kemampuan beradaptasi dengan keragaman budaya dan sistem nilai global.
Kurikulum pada hakikatnya berkaitan dengan pengalaman belajar yang ditempuh siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena itu, pengalaman tersebut perlu diorganisasi agar menghasilkan keseimbangan antara pengetahuan, karakter, dan kompetensi, sehingga peserta didik mampu berperan dalam kehidupan sosial, budaya, dan dunia kerja berbasis teknologi.
Agar hal itu tercapai, aktor-aktor pendidikan — baik di tingkat legislatif, eksekutif, maupun pemangku kepentingan lainnya — perlu memiliki visi dan kebijakan yang selaras dengan kebutuhan literasi abad ke-21. Pengembangan kurikulum juga harus melibatkan masukan dari para stakeholder yang memiliki kepentingan langsung terhadap kualitas lulusan.
Peningkatan mutu pendidikan nasional merupakan tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat. Kurikulum yang efektif dan dinamis menuntut fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan keragaman sosial dan kemajuan setiap daerah di Indonesia.
Karena itu, Indonesia sangat memungkinkan untuk mengembangkan sistem kurikulum nasional terbuka — yakni model multi-kurikulum yang memberi ruang bagi daerah untuk menyesuaikan kurikulum nasional sesuai karakteristik lokal, potensi ekonomi, serta arah pembangunan regionalnya.
Dengan sistem seperti ini, pendidikan tidak lagi seragam secara kaku, tetapi menjadi inklusif, adaptif, dan kontekstual, mempersiapkan generasi yang siap bersaing di tingkat nasional maupun global.



0 Komentar