Ramadhan dan Persisten Idulfitri
Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.* (Fungsionaris DPW SI NTB)
Selain sebagai pilar demokrasi, media adalah perangkat propaganda berpengaruh membentuk peradaban. Premis tersebut tak berlebihan, sebab melalui media, ketersambungan dan keterhubungan bisa dipertautkan. Bagaimana keadaan di benua mana, bisa diketahui sesaat kemudian di benua lainnya. Selama fungsi penunjang teknologi masih ada, peristiwa keterserentakan nuansa ramadhan dan semarak idulfitri dengan segala ornamennya, tampak dengan gesa terhampar dihadapan publik (netizen) sebagai informasi yang laik publik dan update secara berkelanjutan oleh para netizen yang memerlukan informasi ramadhan setakat lebaran.
Informasi yang memprihatinkan dan menggugah empati di Palestina saat ramadhan, informasi unik suasana ramadhan di eropa, matahari terlama dan tersingkat sebagai petanda durasi puasa dari berbagai belahan dunia, sisi ritual tarawih di desa, pengelolaan takjil dan bingkisan hampers idulfitri di perkotaan, kesemuanya memberikan nuansa haru hangat. Dari awal ramadhan hingga pengujungnya menjadi rangkaian ibadah substansi: berpuasa sebulan lamanya.
Semisal yang paling tren lagi urgen, dibicarakan senusantara beberapa pekan terakhir, soal beras. Bahan pokok yang tidak boleh tidak ada. Terutama pada aspek mahal dan langkanya, sedang dipertanyakan publik. Sedangkan bulan puasa dan lebaran telah di hadapan mata. Pemerintah, dalam hal ini BUMN Bulog bersama pemerintah daerah terus berpacu menekan laju inflasi. Melakukan gerakan pangan murah, penyediaan stokis beras, diversifikasi pangan, menyuplai beras dari daerah-daerah lumbung dan terus berupaya hingga stabilisasi melandai. Beras yang mesti punya stok cadangan pangan khusus, dapat diperkirakan untuk jangka tertentu. Mesti jelas, ada logistik berasnya. Terkadang pemerintah mengalami dilema, menjual beras dengan harga murah petani rugi, sebaliknya apabila dengan harga tinggi, daya beli publik tidak terjangkau. Bisa mengalami gejolak dan instabilitas sosial.
Beras adalah sumber pangan krusial. Kelangkaan atau penumpukannya menimbulkan turbulensi. Biarkan beras rakyat untuk tidak dikapitalisasi, apalagi diliberalisasi. Seandainya beras diserahkan ke petani melalui koperasi unit desa, seperti dulu. Mengapa? karena dulunya memang pernah bisa. Tinggal disesuaikan dengan kendali manajemen perkembangan kekinian. Bisa saja regulasi, manajemen, atau perangkat teknologi yang kompatibel dilengkapi dengan keadaan sekarang. Sebab bila persoalan beras berlarut-larut, maka akan menimbulkan keresahan yang meluas. Sedangkan keresahan bisa menimbulkan chaos hingga krisis ekonomi. Kita khawatir dengan belum selesainya krisis politik (pemilihan umum), tersublim pula krisis ekonomi. Persuaan antara krisis ekonomi dan krisis politik: suatu gejala yang tidak diharapkan sama sekali.
Dalam pada itu, kelam dan binar suasana psikososial dalam kondisi perekonomian, sedikit banyak berdampak pada siklus berpuasa dan lebaran. Kelam-binar bukan untuk didikotomi, tetapi untuk dipadu solusi. Ada banyak pemandangan haru yang tampak saat ramadhanan. Untuk meraih keberkahan maksimal, tak sedikit orang berpunya berbagi kebahagiaan. Mereka diantaranya datang ke yayasan, pesantren, panti asuhan, jalanan, masjid serta musholla berbagi takjil dan berkirim hampers kepada tetangga, keluarga, dan kolega.
Suatu implementasi mini dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dalam satu kesatuan manifesto Pancasila. Empatinya telah memberikan perlindungan bagi hak-hak mendasar rakyat. Dari sisi terminologi teologik bisa dihikmahi, telah menjalankan spirit rasa pertalian kemanusiaan, untuk mendapat berkah ketuhanan. Izinkan saya mencoba mengelaborasi pada beberapa filosofi logika pemaknaan. Pertama, puasa penatu kejumawaan. Dengan berpuasa rasa jumawa luruh dari proses penatuan. Kendati tidak bisa hilang. Bukankah kejumawaan dipersilakan, ada dalam batin manusia, agar kita bisa mengendalikan dan menggunakan dengan berlebihan atau tidak menggunakannya sama sekali, lengkap dengan segala konsekuensi psikologi batinnya.
Kedua, puasa penyeimbang kemanusiaan. Ramadhan memberikan perasaan simbolik senasib sepenanggungan. Bagi kaum fakir, bisa saja mereka seperti nyaris tiap hari berpuasa. Namun terhalang ketentuan, puasa sunnah hanya minimal berselang sehari (terapan teladan Nabi Daud), selain di Bulan Ramadhan (puasa wajib). Ritual ibadah bukan ditujukan untuk menyiksa manusia. Oleh sebab itu, berpuasa tidak diperkenankan saban hari, persisten tanpa jeda pada hari berikutnya. Spirit rasa seimbang kita bermanusia, puasa menciptakan batin yang sehat dan melega. Merasakan kepahitan apa yang dialami manusia lainnya atau apa yang manis dari yang dirasakan. Puasa memediuminya.
Ketiga, puasa penetrasi keimanan. Psikologi batin dalam suasana ramadhan-lebaran memberikan rasa ketertundukan dan penghormatan terhadap adanya ramadhan. Minimal ada yang berbeda dari bulan lainnya. Kaum yang terbiasa dengan siklus "beringas" saja tetiba berubah, lebih cool dan klimis syahdu menghadapi ramadhan. Tempat-tempat ibadah lebih ramai dan terdapat suasana ekosistem keimanan yang lebih mengalbu. Berkecenderungan pada kebajikan dengan tingkat keimanan progresif yang meninggi. Dari dalil pula kita dikabarkan, Allah mengistimewakan ramadhan dari bulan lainnya (Q.S. Al-Baqarah: 185). Dengan sempurna dan istimewanya puasa ramadhan, kebergajulan lamat-lamat sirna dari peringai diri. Konsistensi kita pada ekosistem yang transenden, bisa memberikan efek pencerahan dari gamangnya kehidupan.
Dalam konteks artikel ini, saya terpikat pula pada satu nukilan hadits, kurang lebih saripatinya: do'a yang tidak tertolak adalah do'a pemimpin yang adil, orang yang berpuasa, dan orang yang didzolimi. "Dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah SAW bersabda, "Tiga orang yang do'anya tidak tertolak: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan do'a orang yang terdzolimi, Allah akan mengangkatnya dibawah naungan awan pada hari kiamat, pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya seraya berfirman: Demi keagunganKu, sungguh Aku akan menolongmu, meski setelah beberapa saat." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Tak main-main, do'a pemimpin yang adil termasuk yang tidak tertolak dan pada hari kiamat dinaungi awan serta dibukakan pintu-pintu langit. Suatu keistimewaan kuadrat. Saat di dunia keistimewaan sebagai manusia (pemimpin), ketika hari kiamat diberi keistimewaan pula, dengan syarat bisa berbuat adil. Pemimpin yang adil, luar biasa. Lainnya, orang yang berpuasa. Keistimewaan bagi orang yang berpuasa, telah menjalankan perintah Allah. Perintah puasa yang langsung dinilai Allah. Artinya setiap yang berpuasa, berada dalam pengawasan Allah Azzawajalla. Kemudian orang yang didzolimi. Hadits tersebut menyebut orang yang mengalami pendzoliman. Lazimnya orang yang didzholimi tak bisa melawan, atau bersabar untuk tidak melakukan perlawanan. Wahana munajat do'a memberikan "jalan tol" tanpa ribet dengan urusan-urusan ruwet. Orang yang didzholimi mendapat suasana utama untuk bisa menggunakan "keistimewaannya" secara tulus. Entah arah do'a itu apa, jaminan terkabulnya do'a lebih pasti dari orang yang tidak didzholimi. Kendati pasti, tak ada orang yang ingin didzholimi.
Bagaimana kalau do'a itu terakumulasi pada seorang pendo'a yang mengalami nyaris semua keadaan, sebagaimana termaktub pada nukilan hadits di atas. Pendo'a tersebut adalah seorang pemimpin adil berkharisma yang sedang berpuasa dan berada pada pusaran keadaan didzholimi? Tetiba pikiran imajinarian saya membayangkan kalau saja ada pendo'a seperti itu, maka nyaris dipastikan do'anya bisa langsung terkabul. Apalagi bila munajat do'anya dilakukan secara tulus iman, yakin dan sungguh-sungguh dari lubuk hatinya. Allah berfirman: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdo'a, apabila dia berdo'a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran" (Q.S. Al-Baqarah: 186).
Mengenai do'a yang terkabul dan tidak terkabul, saya pernah pula menanyakan pada kaum ulama, yang memberikan penjelasan (saya persingkat dan sulih pernyataan sebisanya). Prinsipnya do'a-do'a tulus iman sesuai adab dan kaifiat kita terkabul semua, bahkan surplus. Boleh jadi, pengabulan do'a melampaui kuantifikasi dari nilai do'a atau terpending dan terkonversi dalam bentuk lainnya. Kita saja (mungkin) yang tidak sadar atas nikmat, karunia dan keberkahan Tuhan dari seluruh penjuru lini serta segala rupa.
Dari haru realita sosial, kehangatan ritual puasa dan spirit idulfitri, mari saling bermunajat do'a-do'a sebagai bonus istimewa yang disediakan ramadhan. Soal terkabul ataukah tidak (pending), itu urusan Tuhan. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib R.A menyatakan: "Jika Allah mengabulkan do'aku maka aku berbahagia, tetapi jika Allah tidak mengabulkan do'aku, maka aku lebih berbahagia. Karena yang pertama adalah pilihanku, sedangkan yang kedua adalah pilihan-Nya". Untaian do'a, pada pengujung menuju lebaran, kian berlapis-lapis imbal keberkahan. Dituai saat idulfitri, saat semua kembali pada fitrahnya.
Binar keceriaan ramadhan dan kelegaan berlebaran. Secara sufistik, sesungguhnya kita mesti terfitri tiap hari. Tahniah haru hangat beridulfitri.(*)
0 Komentar