Breaking News

6/recent/ticker-posts

Tujuh Anak Beragama Buddha jadi Santri MTs Al-Muma Lombok Utara | Suara Bumigora

Gedung sekolah MTs Al-Muma, Rempek, Gangga

Lombok Utara, suarabumigora.com -Sikap bermasyarakat di Lombok Utara lagi-lagi memperlihatkan toleransi tingkat tinggi. Bagaimana tidak, demi menyelamatkan  pendidikan anak-anak di pedalaman, salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Dusun Jelitong, Desa Rempek, Gangga, menerima tujuh orang anak yang beragama Buddha menjadi santrinya (siswa). Diketahui hal itu dilakukan pihak madrasah karena sulitnya akses pendidikan bagi siswa-siswa tersebut. 


MTs Al-Mujahidin Majdi NW (akrab disebut MTs Al-Muma) diketahui menerima ketujuh siswa tersebut sejak tahun lalu. Dua orang di antaranya  Astina Hasanah dan Suriani, saat ini duduk di kelas VIII (kelas dua MTs) dan lima lainnya Anjeli Kadewi, Medi Asmawadi, Nepi, Pedi, dan Tika Pratiwi, baru masuk pada tahun ini (kelas VII). 


Kepala MTs Al-Muma Putrawadi, kepada media pada Selasa (30/3/2021) menyatakan menerima anak-anak tersebut lantaran jauhnya akses pendidikan (sekolah) umum dari lokasi tempat tinggal anak-anak itu. Hanya MTs Al-Muma yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Kendati dekat, anak-anak tersebut harus berjalan kaki naik turun perbukitan menelusuri jalur tengah hutan sejauh lebih dari satu kilometer. Sekolah SMP terdekat yaitu SMPN 2 Gangga, untuk mengaksesnya anak-anak tersebut butuh turun gunung sejauh sekitar 16 kilometer. 


Dari kiri: Kertisah, Tika, Suriani, Anjeli, dan kedua Orang Tua Anjeli

"Madrasah kita yang paling dekat dari tempat tinggal mereka, dan ini satu-satunya sekolah umum di sini yang terdekat itu SMPN 2 Gangga, jaraknya belasan kilometer," ujar Putrawadi. 


Selain jarak yang jauh, faktor ekonomi juga menjadi hambatan bagi para siswa beragama Buddha tersebut. Diketahui mereka berlatar belakang orang-orang yang tidak mampu. Rata-rata pekerjaan orang tua mereka merupakan Buruh Sabit Rumput, yang diupah Rp 10 ribu untuk setiap karung rumput yang disabitnya. 


"Pekerjaan kami sehari-hari menyabit rumput, kami diupah Rp 10 ribu setiap karungnya. Dan saya tulang punggung keluarga, suami saya menderita Epilepsi, karena itu kami bingung bagaimana menyekolahkan Suriani ke tempat yang jauh (sekolah lain), kendaraan pun kami tak punya," ujar Kertisah, Orang Tua Suryani, salah satu dari tujuh anak itu. 


Kertisah menyebutkan ketakutannya, jika anak-anak ini tidak bersekolah maka mereka kemungkinan besar akan menikah di usia dini. Pasalnya, terlalu banyak kejadian tersebut di kampung itu. Beberapa teman sekelas anaknya yang berusia 14 hingga 15 tahun telah menikah. Hal ini yang menjadi ketakutan keluarga sehingga harus menyekolahkan anaknya meski di Madrasah. 




Potret jalan Dusun Soloh menuju MTs Al-Muma

"Di sini banyak kejadian anak-anak kecil menikah, kalau tidak disekolahkan anak kami nanti bisa menikah cepat. Makanya mereka harus sekolah walaupun di Madrasah," tegasnya saat dikunjungi di kediamannya di Dusun Soloh, Desa Rempek, Gangga, Senin (29/3/2021). 


Konon, pembangunan Madrasah Al-Muma juga dibantu oleh Ummat Buddha di desa setempat kemudian saat ini pihak madrasah pun memberikan akses pendidikan bagi tujuh anak beeagama Buddha di sana. Sikap toleransi dan saling melengkapi ini didasari atas hubungan baik antar sesama. 


Kendati menerima tujuh siswa tersebut, pihak MTs Al-Muma tidak memiliki guru untuk mengajarkan Agama Buddha. Sebagaimana MTs pada umumnya, Al-Muma juga menggunakan kurikulum madrasah yang memiliki beberapa mata pelajaran khusus keislaman seperti Fiqih, Aqidah Ahlaq, dan Qur-an Hadist. Tentunya ketujuh siswa ini tidak bisa mengikuti pelajaran tersebut. Mereka diminta Putrawadi untuk belajar agama di rumah masing-masing. Nilai mereka pun di beberapa mata pelajaran keislaman tidak terisi. 


Suriani berpose di rumahnya bersama kedua orang tuanya

"Kalau di mata pelajaran khusus mereka tidak ikut kelas, mereka kita minta belajar di rumah untuk mata pelajaran agamanya. Kami berusaha mencarikan guru Agama Buddha untuk mereka, kami sudah konsultasi juga dengan pihak Kemenag KLU," jelas Putrawadi. 


Sementara itu, Kepala Seksi Pendis Kantor Kemenag KLU Muhammad Nurul Wathoni, menyatakan sedang mencari solusi untuk ketujuh anak tersebut. Mencarikan mereka Guru Agama Buddha di sana cukup sulit, pasalnya mereka kekurangan sumber daya manusia (SDM). Muncul pula solusi untuk memindahkan siswa-siswa tersebut ke sekolah umum, hingga solusi mengikuti paket B. 


"Kita masih kaji terkait hal ini, mereka di sana bukan hanya kekurangan mata pelajaran tetapi itu memang tuntutan kurikulum jika tidak ada nilainya maka tidak bisa naik kelas. Kita sedang upayakan solusinya, ini kami masih berdiskusi dengan pihak Dinas Dikpora KLU," paparnya. 


Terlepas dari problema kurikulum yang dihadapi ketujuh siswa ini, mereka mengaku senang menjadi Santri di MTs Al-Muma, mereka tidak dipaksa untuk mengikuti pelajaran keagamaan (islami), mereka tidak dipaksa untuk memakai jilbab atau pun atribut muslim lainnya, bahkan mereka kerap membantu kawan-kawan muslimnya mempersiapkan tempat dan kebutuhan kegiatan Imtaq setiap hari Jumat. 


"Iya kita sering membantu teman-teman, kalau lagi mau Imtaq kita bantu bersihkan tempat juga persiapan lain," jelas Suriani dan Tika Pratiwi tersipu malu. 


Ia juga tidak menyangkal, bahwa perlakuan kawan-kawannya di madrasah sangat terbuka dan hangat terhadap mereka. Meski tidak seperti santri biasanya mereka tetap dianggap sebagai bagian dari madrasah. Selama ini tidak pernah ada bully atau tindakan pemojokan yang diterimanya. 


"Semua teman kami baik terhadap kami, meskipun kita tidak pakai jilbab tapi kita tidak pernah diolok-olok semuanya biasa-biasa saja," jelas Anjeli yang saat itu juga bersama Suriani dan Tika. (sat) 

Posting Komentar

0 Komentar