Breaking News

6/recent/ticker-posts

"Mitigasi Bencana" Edukasi Kearifan Lokal dan Pelestarian Alam | Suara Bumigora

Ilustrasi dampak gempa (sumber : jawa post) 

Lombok Utara, suarabumigora.com - Dimulai dari 29 Juli 2019 silam, Minggu pagi itu warga Lombok dikejutkan dengan guncangan gempa 6,4 Magnitudo, kemudian seminggu setelahnya Lombok benar-benar diluluhlantahkan dengan guncangan selanjutnya 7,0 Magnitudo dan 5,9 Magnitudo tepat tiga hari pasca 5 Agustus 2019.

Seluruh daerah di Lombok hampir rata dengan puing, khususnya Lombok Utara, menjadi daerah terparah yang terdampak gempa. Bahkan gempa berdampak hingga pulau Bali dan Sumbawa. 

Sejumlah 483 orang meregang nyawa, 1.416 orang menderita luka-luka, 431.416 orang terpaksa mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal (sumber : poskogasgab). Memasuki masa rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab rekon) hingga saat ini BNPB dalam datanya yang dirilis 8 Juli 2019, menyebutkan sejumlah 51.420 unit rumah telah selesai dibangun, dan 77.100 unit dalam progres pengerjaan. Sungguh angka-angka yang fantastis untuk membuat kering air mata warga. 

Melirik masa lalu, gempa dahsyat juga pernah terjadi di Lombok sekitar 51 tahun yang lalu, dari cerita salah seorang saksi hidup gempa tersebut, Suwartiadi (62) asal dusun Lendang Bagian, Gangga, gempa tersebut menewaskan satu orang pedagang yang terjebak di reruntuhan tokonya di wilayah Tanjung. Korban merupakan keturunan pendatang yang  berdagang di Tanjung. 

Gambar denah konstruksi rumah adat Segenter (sumber : Sibawaihi dkk : 2019) 
Siklus gempa tersebut memberikan pemahaman bagi masyarakat, bahwa gempa yang terjadi di Lombok bukanlah yang pertamakalinya. Pertanyaanya, mengapa pada gempa 2018 silam korbannya begitu banyak, mulai dari ratusan nyawa hingga puluhan ribu rumah hancur?

Barangkali, masyarakat perlu diingatkan kembali bukan hanya pada catatan besarnya getaran gempa, tapi pada situasi dan kondisi sosial budaya dan kondisi alam saat itu. Mengapa korban akibat gempa hanya sedikit saat itu? 

Pada tahun-tahun tersebut (sebelum era 2000an) kebudayaan masyarakat dalam membangun tempat tinggal hampir semua menggunakan bahan tahan gempa (kayu) dengan memanfaatkan hasil hutan. Kemudian jika dilihat, saat ini hampir semua lahan hijau dan produktif sudah ditanami rangkaian beton nan tegap.

Bale Mengina, rumah adat dusun Segenter, Lombok Utara. (sumber : gerbanglombok.co.id) 
Menurut Bupati Lombok Utara, Najmul Akhyar, dalam beberapa pidatonya, menyampaikan hunian yang rusak akibat gempa rata-rata berbahan batu bata dan beton, hampir tidak ditemukan adanya kerusakan pada bangunan yang berbahan kayu. 

Tradisi tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat adat di Lombok Utara, khususnya masyarakat adat dusun Segenter, hingga saat ini masih menggunakan Bale Mengina sebagai hunian tempat tinggalnya. Terbukti tidak ada satu pun dari Bale Mengina yang rusak akibat gempa. 

Kebakaran hutan dan lahan pertanian. 
Muhammad Sibawaihi dan timnya, menyampaikan dalam hasil penelitiannya yang berjudul "Menggaungkan Suara Marginal : Cerita dari Kawasan Timur Indonesia" (2018 :13) bahwa Bale Mengina merupakan simbol sosial dari masyarakat Segenter, konstruksinya pun sangat sederhana tetapi aman. 

Bale Mengina memiliki ukuran bervariasi 6x7m, 7x8m, dan 8x9m, dengan 26 tiang kokoh sebagai konstruksi di setiap rumahnya. Bale Mengina memiliki bagian-bagian yang disebut Dalem Bale, Amben Bale Sesirep, dan Inan Bale yang memiliki fungsi masing-masing, kemudian Bale Mengina dilengkapi dengan berugak sekenem (gazebo bertiang enam) di luar rumah yang terletak antara setiap rumah yang berhadapan. 

Bahan yang digunakan membangun Bale Mengina pun seperti tiang kayu, gedeg, dan atap alang-alang merupakan bahan murni dari alam yang diketahui sangat aman dan tahan terhadap guncangan gempa. 

Penggunaan bahan alam yang dilakukan oleh masyarakat adat Segenter tentunya sangat terkait dengan ketersediaan bahan di alam. Menyikapi hal tersebut masyarakat terdahulu tidak tinggal diam. Filosofi Wetu Telu yang berkembang di wilayah Bayan menyikap sosial budaya masyarakat Bayan (termasuk Segenter) tentang tiga hubungan yang mesti dilestarikan, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam. 
Kebakaran hutan dan lahan pertanian. 
Pada poin ke-tiga, melestarikan hubungan dengan alam adalah filosofi penting yang mengikat hak dan kewajiban manusia terhadap alam (bumi, tumbuhan dan hewan). Hal inilah yang mengatur siklus ketersediaan bahan alam yang bisa dimanfaatkan manusia, bagaimana manusia merawat alam kemudian mendapatkan manfaat dari alam. 

Selain gempa, kebakaran hutan dan lahan pertanian pun kerap terjadi, data yang dirilis oleh Dinas Pemadam Kebakaran, Damkar Jaya KLU, mengungkapkan pada bulan Oktober ini terjadi 25 peristiwa kebakaran dalam 20 hari terakhir. Kebakaran tersebut mengakibatkan rusaknya alam, sehingga manusia semakin sulit mendapat manfaat dari alam. Ribuan hektare tumbuhan dan pepohonan hangus terbakar. Hal ini menandakan invasi manusia terhadap alam sudah melampaui batas.

Membludaknya korban akibat bencana alam tidak terlepas dari kelalaian manusia terhadap pelestarian alam dan kehilangan identitas sosial budaya manusia akibat degradasi budaya. Terbukti dari sejarah yang masih teringat dan memiliki saksi hidup hingga saat ini. 

Suwartiadi, pada penutup ceritanya menyatakan kehijauan alam dan rimbun pepohonan yang mereka tata dan rawat saat itu digunakan orang tuanya  untuk membangun tempat tinggal saat itu. Harmoni keselarasan budaya manusia dengan alam dapat menjadi sistem mitigasi penting untuk menghindari jatuhnya korban dalam setiap bencana. (sat)

sumber rujukan :
Buku "Menggaungkan Suara Marginal : Cerita dari Kawasan Timur Indonesia" (Sibawaihi dkk : 2019)


Posting Komentar

0 Komentar