Breaking News

6/recent/ticker-posts

Mengubah Berarti Menghancurkan: Dilema Masyarakat Adat Segenter | Oleh: Ahmad Ijtihad |Suara Bumigora

Ilustrasi suasana kearifan lokal masyarakat Desa Adat Segenter. 
Kontaminasi nilai kearifan seperti serabut benang yang sulit diperbaiki. Miris sekali rasanya melihat kebudayaan nenek moyang mulai terkikis oleh arus modernisasi dan memunculkan budaya baru di tengah masyarakat, seperti apa yang terjadi di masyarakat Dusun Segenter, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Perubahan arsitektur rumah tradisinal bale mengina (rumah induk) memengaruhi pola hidup masyarakat. Mulai dari tata kehidupan hingga perubahan yang bersifat prinsipil seperti pemahaman atas nilai-nilai kearifan yang ada. 

Rumah tradisional Segenter merupakan rumah yang dibangun bersadarkan ketentuan adat, di mana bale mengina dibangun dengan lajur panjang mengarah utara-selatan dan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari apa yang disediakan alam. Seperti atap yang terbuat dari ilalang, pagar yang terbuat dari bambu, pondasi rumah dari batu-bata dan tiang-tiangnya berasal dari kayu. Secara bentuk rumah tradisional Segenter tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah  joglo yang merupakan rumah adat jawa kuno.

Sebagai identitas kolektif warga Dusun Segenter, bale mengina memiliki 13 rusuk tiang penyangga serta memiliki inan bale (induk Rumah) yang dibangun ditengah ruangan bale mengina. Inan bale inilah yang membedakan arsitektur rumah tradisional Segenter dengan arsitektur rumah tradisional lainnya. Inan bale dipercaya sebagai simbol kesejahteraan masyarakat yang merupakan ruangan khusus yang berukuran 2 x 3 meter, yang terletak di tengah rumah dan memilki tiang penyangga seperti rumah panggung dengan tinggi 2 meter. Inan bale merupakan simbol yang paling dikramatkan oleh warga Segenter. Dalam tatanan adat, ruang tersebut hanya boleh dimasuki oleh perempuan saja (ibu). 

Secara praktis inan bale memiliki fungsi sebagai tempat menaruh kebutuhan pokok, seperti beras, pusaka keluaraga dan barang-barang yang dianggap berharga. Secara filosofi, inan bale adalah sebuah simbol keberkahan keluarga. Inan bale juga merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat melakukan ritual pemantik rejeki yang dinamakan dengan “mengawinang meni” (mengawinkan beras). 

Bale mengina dan inan bale menjadi identitas masyarakat Segenter. Indentitas kolektif ini yang membuat Dusun Segenter memiliki pesona bagi para wisatawan, sehingga dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara No. 9 tahun 2011 Segenter termasuk dalam satu satu cagar budaya Lombok Utara yang mesti dijaga kelestariannya. 
Namun sayang, kepercayaan masyarakat adat terhadap pamali perubahan arsitektur bangunan sudah mulai longgar dan agaknya membuka peluang bagi modernitas masuk dalam sendi kebudayaan masyarakat, yang secara perlahan memengaruhi keseluruhan kehidupan sosial-budaya masyarakat Segenter. Seperti halnya perubahan tata ruang arsitektur modern yang memiliki kamar-kamar pribadi membuat kebiasan warga yang berbincang di berugaq (Gazebo) menjadi jarang. Jika dibandingkan, arsitektur bangunan tradisional bale mengina yang tidak memiliki sekat apapun di dalamnya, membuat warga memanfaatkan berugak sebagai ruang keluarga. Pola ini mengandung nilai keterbukaan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lainnya. 

Modernitas yang terjadi di wilayah-wilayah adat mempengaruhi tidak hanya soal budaya material seperti arsitektur. Akan tetapi nilai-nilai sosial juga terkontaminasi oleh perkembangan teknologi seperti terbukanya media informasi. Walau hal ini terjadi di semua daerah. Akan tetapi perubahan yang terjadi pada masyarakat adat berbeda dengan masyarakat yang lainnya, pada kondisinya masyarakat adat tidak disiapkan untuk lahir dalam perkembangan teknologi tersebut, apalagi teknologi-teknologi tersebut tidak lahir dari budaya masyarakat adat. Jika manusia modern Indonesia saja masih mengalami persoalan literasi bagaimana menghadapi laju teknologi informasi, apalagi masyarakat adat, khususnya di Segenter?


Melihat Segenter sebagai destinasi parwisata budaya, maka perubahan arsitektur mestinya menjadi persoalan penting untuk diperhatikan. Pasalnya, bale mengina sebagai simbol pariwisata Segenter hampir hilang dengan adanya bangunan-bangunan permanen yang terbuat dari batu-bata. hal ini menjadi pertanyaan sederhana, “Kenapa warga membangun rumah berbahan batu-bata? Lalu kenapa tidak ada kontrol dari pemerintah atas perubahan yang terjadi? Padahal Pemerintah mecanangkan rumah tradisional Segenter sebagai cagar budaya?”


Pada beberapa kesempatan, kami sempat mewawancarai berbagai pihak dan beberapa warga di Dusun Segenter. Perubahan bangunan di Dusun Segenter sejatinya diawali pada tahun 1999 dengan dibangunnya sebuah rumah permanen berbahan dasar batu-bata. Dalam proses pembangunan, rumah tersebut sempat menuai protes dari warga yang lain karena  dianggap merusak tatananadat yang ada. Namun karena tidak ada kontrol dari pihak-pihak terkait, akhirnya bangunan batu-bata itu rampung, kemudian diikuti oleh warga yang lain.


Hingga kini, perubahan bangunan pun tidak lagi dipandang sebagai perilaku merusak tatanan adat melainkan warga memandang perubahan bangunan sebagai sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan berubah juga. Seperti yang di jelaskan oleh beberapa warga, “Seandainya saya punya uang, maka rumah ini pasti akan saya ganti dengan rumah batu-bata.”, katanya.


Terdapat beberapa faktor berubahnya bangunan adat yang tergantikan dengan bangunan modern. Diantaranya adalah: (1) Mahalnya bahan dasar pembangunan rumah adat. Dalam pembangunan rumah adat, warga harus menyiapkan bahan dasar dari alam. Zaman sekarang, bahan-bahan yang dibutuhkan tidak lagi tersedia di gawah (hutan) Segenter, sehingga warga harus membeli bahan-bahan rumah adat tersebut. Sebut saja, untuk satu rumah minimal membutuhkan 100 ikat ilalang, dengan harga seikat Rp 50.000 X 100. Kemudian 200 buah bambu yang digunakan sebagai pagar, usuk, prametan, pasak dan yang lainnya seharga Rp 5.000- Rp 7.000/ batang. Selain itu, rumah tradisonal Segenter juga membutuhkan 20 buah rotan dengan panjang 20 meter, dengan harga minimal Rp 200.000. Rincian tersebut merupakan angka minimum yang harus dipersiapkan warga yang ingin membangun rumah adat. Kemudian dalam proses pembangunan, warga yang membangun rumah harus menyiapkan makanan kepada warga yang bergotong-royong. Karena gotong-royong biasanya dilakukan oleh semua laki-laki yang ada di dusun, maka warga sekurang-kurangnya memasak beras 100 Kilogram termasuk juga lauk dan pauk. 


(2) Berkurangnya warga yang ahli membangun rumah adat. Untuk saat ini, hanya beberapa warga saja yang memiliki keahlian membangun rumah tradisional Segenter. Keahlian membangun rumah tradisi digantikan dengan keahlian membangun rumah modern. 

(3) Pariwisata yang tidak terkontrol. Selain dua persoalan di atas, satu kelalaian lagi adalah latahnya masyarakat kita secara umum menerima bantuan dari luar baik itu wisatawan atau lembaga donor lain. Banyak sekali wisatawan yang datang ke Segenter yang kasihan melihat kondisi di Segenter, kemudian memberikan sumbangan untuk mendirikan sekolah, masjid, toilet dan bangunan lainnya. Meski sangat bermanfaat, namun tidak dipikirkan bagaimana bangunan-bangunan permanen itu, kemudian merusak tatanan dan nilai kearifan lokal di Segenter. 


Dalam kasus ini bisa kita lihat, bagaimana kontradiksi pemerintah daerah dengan realitas masyarakat Segenter sebagai salah satu tempat yang diklaim sebagai cagar budaya daerah. Cagar budaya yang seharusnya mendatangkan keuntungan ekonomi bagi warga, justru tidak mendukung kebertahanan terhadap pesona rumah tradisional bale mengina yang dimilikinya. Alih-alih menjadi kebanggan warga, kelalaian semua pihak justru merusak tatanan budaya itu sendiri. 


Dalam hemat kami, rumah tardisional bale mengina mestinya dapat dipertahankan sebagai cagar budaya dan ikon Lombok Utara. Maka dibutuhkan komitmen anatara warga yang berupaya untuk menjaga warisan leluhur dengan pemerintah sebagai penjamin kehidupan masyarakatnya. Sebaiknya kita perlu menelaah dengan seksama, hal-hal yang dapat memicu perubahan budaya, khsusnya di Segenter. Selain menyoal perubahan arsitektur, maka perlu juga memperhatikan warga Segenter yang-kita sebut saja- sebagai penjaga warisan leluhur tersebut untuk didampingi, dibimbingan bahkan harus difasilitasi dalam rangka menjaga dan merawat kebudayaan yang ada, sehingga nilai-nilai kearifan dapat hidup dan menjadi pembelajaran untuk semua orang. Persoalannya kemudian bagimana mengelola sumberdaya lokal menjadi penggerak dan dapat mengembalikan hal tersebut? 


Mengubah kembali berarti perlu meruntuhkan, hal ini menjadi mimik yang terdengar ironis. Memang sulit mengkomunikasikan kepada warga yang sudah terlanjur berubah oleh berbagai faktor. Namun, jika memang kesadaran kita bermuara kepada pentingnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cagar budaya ini, maka tentu kita semua tidak akan berat untuk bersama berkumpul, berdiskusi dan menyumbangkan ide dan gagasan demi terpeliharanya nilai-nilai yang kita junjung di gumi Tioq, Tata, Tunaq ini.  Sebab, segenter tidak hanya tentang bangunannya saja, namun ia memiliki fragmen penting peradaban Lombok Utara. Mulai dari sejarah, arsitektur, tata ruang serta pranata yang ada di dalamnya. Maka, sepatutnya kita berbangga, dan mulai memikirkan Segenter.

Lombok Utara, 10 Maret 2019.



Tentang Penulis:
Ahmad Ijtihad lahir 5 Desember 1992 di Dusun Kebun Indah, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Saat ini ia aktif dalam berbagai kegiatan kepemudaan di desanya. Ia menggagas Komunitas Ampure dan Lasah Berajah. Sejak 3 tahun yang lalu, Ijtihad aktif berkegiatan di komunitas Pasirputih. Di Pasirputih Ijtihad menjadi koordinator program BerajahAksara dan menjadi penanggung jawab jurnal online www.berajahaksara.org. 

Posting Komentar

2 Komentar