Breaking News

6/recent/ticker-posts

Temu Teman Seni, Rona Wajah Berbeda di Alun-Alun Kota Utara | Suara Bumigora

Solaturahmi teman seni Lombok Utara, performa Just One Tea

Lombok Utara, suarabumigora.com - Pentalan bola kerap menyeruduk para peminum kopi di meja tongkrongannya, entah bola sepak atau bola voli, bahkan riuh ramai para pemburu pentol (cilok) berpayung pelangi hingga langkah hati-hati para balita yang menikmati menjajal mobil-mobilan mainan di bawah tiang bendera. Itulah rona wajah sehari-hari alun-alun Lombok Utara atau yang akrab disebut Lapangan Tioq Tata Tunaq, Tanjung. 


Sore itu, Sabtu 21 Meni 2022, terdengar lantunan musik reggae yang cukup membahana dari bawah pepohonan cemara tua. Biasanya musik-musik semacam itu terdengar dari sound sistem milik Samsul, warga yang memang bermukim di sana. Namun, kali ini kedatangan suara itu lengkap bersama alat dan penyanyinya. Wajah lapangan kota  sedang terlihat berbeda. 


Nampak beberapa potongan gaya aneh orang-orang yang sebelumnya kerap tak nampak di Bawah Cemara. Mulai dari yang berambut gondrong, setengah kepala, ada kepala berbalut topi khas sutradara, hingga tampilan normal yang biasa-biasa saja. 


Diskusi para seniman

Berbagai identitas, itulah mereka para seniman yang tengah sangkep (rapat/berkumpul: Sasak) tampilan yang mereka bawa sesuai dengan cita rasa karya yang mereka tata. 


Bertajuk "Silaturahmi Teman Seni" mereka meluapkan inspirasi dalam performa sebuah karya yang mereka bawa. Mulai dari lagu-lagu indah para musisi, puisi-puisi menohok para sastrawan, candaan kocak para komedian, hingga sketsa membingungkan dari mereka para perupa. Sore itu Lapangan Tanjung berubah rona, yang biasanya menjadi alas pantul bola, kini menjadi panggung para Aktivis Imajinasi. 


"Tidak ada yang menjadi panitia, tidak ada yang bertanggung jawab menginisiasi, ini adalah kerinduan kami untuk bersama dalam bingkai seni," ucap Danu Winata, yang juga tergabung dalam perkumpulan para seniman itu. 


Nampak, anak-anak sedang belajar menggambar

Coretan-coretan tinta membentuk kaligrafi dari tangan Zohri, disertai bubuhan arang dari tangan rapi Hujjatul Islami membentuk sketsa wajah tak pasti bernilai seni yang kerap mereka hanya bisa mengartikan sendiri. Kendati seperti ini, beberapa anak-anak usia dini pun mengikuti kreativitas seni dengan belajar menorehkan tinta menjadi gambar yang kemudian di pampang guna menyambut tenggelamnya mentari. 


"Seni, itulah yang mengumpulkan kami saat ini, hal-hal seperti inilah yang bisa kami lakukan guna menghidupkan atmosphere seni di Lombok Utara," tutur Gozali, seniman asal Pemenang itu. 


Belum setengah cangkir kopi habis, Just One Tea dengan lagu reggae khas mereka, menambah semangat berdiskusi. Rasanya mentari tak ingin segera terbenam di sela cemara tua. Tak cukup di sana, Trio Amphibi pun memainkan perannya di telinga para pemirsa. Sajian yang berbeda dari setiap momentum senja di bawah ranting cemara. 


Foto bersama usai diskusi dan performance

Diskusi pun berjalan hidup, arus lalu lintas logika dan rencana berperang di antara puluhan kepala. Bagaimana melangsungkan kehidupan seni di Lombok Utara? apa saja yang bisa dilakukan tanpa biaya?, hingga tantangan berkarya mengenai wajah kabupaten tercinta, semua tumpah menjadi pemikiran bersama. 


Kemudian, waktu tak memberi mereka kesempatan lama, kepala-kepala yang tadinya sibuk berlogika dengan realita, namun harus dibungkam kumandang adzan magrib dari masjid Agung Lombok Utara. Hingga mereka, seniman, para penikmat seni, dan pecinta seni harus buru-buru menentukan masa, membuat rencana untuk kembali bersua, tentu saja dengan membawa segala macam karya. 


Dalam rencana pertemuan pun mereka memutuskan untuk segera. (sat)

Posting Komentar

0 Komentar