Breaking News

6/recent/ticker-posts

Guru Ali, Definisi Oemar Bakrie dari Kaki Barat Rinjani | Suara Bumigora

 

Guru Ali saat memeriksa tugas sekolah muridnya di rumah (Gambar: Yayasan Pasir Putih)

Lombok Utara, suarabumigora.com - Andai saja Iwan Fals hidup di Kabupaten Lombok Utara (KLU) barangkali judul lagu yang ia ciptakan bukan "Oemar Bakrie" tetapi "Guru Ali". Guru Ali, sosok sederhana pengabdi tanpa status "Negeri" ini, memang tidak sepopuler Oemar Bakrie, namun jasanya terhadap pendidikan anak negeri seolah tak tertandingi. Sosok yang memiliki keterbatasan fisik (difabel) ini dengan lantang menerobos sekat keterbatasan fisiknya. Maka tak salah, jika Yayasan Pasir Putih mengabadikan pengabdiannya dalam film dokumenter berjudul "Nyanyian Guru Ali" yang kini sudah ditonton berbagai kalangan di Lombok Utara bahkan kini film ini banyak diminta untuk diputar di luar daerah.


Pagi-pagi sekali, keluar dari pintu rumah mungil berjenis Rumah Tahan Gempa (RTG), Guru Ali yang bertempat tinggal di wilayah kaki sebelah barat gunung Rinjani yaitu Dusun Bentek, Desa Menggala, Kecamatan Pemenang ini harus mempersiapkan diri dan materi belajar bagi anak didiknya di sekolah. Ia mengurus bocah-bocah yang duduk pada bangku kelas 1 SD. Ia mengabdikan diri sejak tahun 2004 silam di SDN 5 Pemenang Timur, yang berlokasi di kawasan wilayah hutan KLU dan berjarak sekitar 5-6 kilometer dari kediamannya. Tepatnya sekolah ini berada di Dusun Jeliman Ireng, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang.


Sebelum menjadi guru, ia sempat bekerja sebagai tukang pecah batu. Saat itu, ia iangin sekali mengamalkan ilmunya yang ia dapat di pramuka. Bak gayung bersambut, Guru Ali kemudian diminta oleh temannya (Kepala SDN 5 Pemenang Timur saat itu) untuk mengajar di sana sekaligus membina ekstra kurikuler pramuka di sekolah tersebut. Tak berpikir panjang, Laki-laki bernama lengkap Herman Ali tersebut langsung menerima ajakan temannya.


"Saya mulai mengajar tahun 2004, diajak sama teman saya, dulu dia Kepala Sekolah di SDN 5 Pemenang Timur. Karena hati sy merasa terpanggil untuk mengamalkan ilmu, saya menerima itu," jelas Guru Ali.


Di saat itu pula petualangan Guru Ali menjadi guru bagi anak negeri dimulai. Guru Ali merupakan penyandang disabilitas dengan setengah fisik yang lebih kecil dari setengah fisiknya yang lain. Keterbatasan fisik semacam ini bisa terjadi pada siapa saja, namun semangat yang dimiliki dan dipupuk Guru Ali tidak terdapat pada sebagian besar orang. 


Guru Ali mulai berjalan menuju sekolah, kala itu lokasi SDN 5 Pemenang Timur masih benar-benar belantara bersemak. Ia berjalan kaki dari rumahnya hingga sekolah seperti tokoh kartun "Ninja Hatori" mendaki gunung lewat di lembah. Total ada lima bukit yang harus didakinya selama kurang lebih dua jam untuk sampai di sekolah. Karena jauhnya jarak tempuh, ia harus memulai langkah saat mentari belum merekah, dan kerap pulang saat bulan sudah terang. Katanya, kasihan muridnya menunggu kalau-kalau dia telat.


Potret perjalanan Guru Ali saat pergi mengajar ke sekolah (Gambar: Yayasan Pasir Putih)

"Biasanya saya jalan ke sekolah itu pukul 05.30 atau pukul 06.00 wita, kalau saya jalan siangan nanti kasihan murid-murid saya menunggu," ceritanya.


Dengan keterbatasan fisiknya ia tidak bisa mengendarai sepeda motor, sementara untuk menyewa ojek rasa-rasanya terlalu berat. Beberapa kali ia dapat tumpangan gratis dari warga yang melintas jika benar-benar terdesak. Namun tumpangan gratis justru berujung dilematis. Ia tidak suka dikasihani, ia selalu memberikan ongkos pada orang yang memberinya tumpangan, sementara sang pengojek malu jika harus mengambil uang dari Guru Ali, karena mereka tahu kondisi keuangan dan kehidupan guru honorer tersebut. Karena itu berjalan kaki adalah pilihan terbaiknya.


Iringan musik India atau lagu Rhoma Irama selalu menemani perjalanannya ke sekolah, ditambah siulannya yang mengikuti nada musik di telepon genggamnya ia beraktivitas dengan begitu ceria. Ceria, bahagia, dan humoris adalah karakter Guru Ali sehari-hari. Tak tampak seperti realita dompetnya yang hanya berisi Rp. 250 ribu perbulannya, dari gajinya sebagai guru honorer di sekolah.


Guru Ali kerap berjalan ke sekolah dengan berbekal sebotol air putih dan sepasang pakaian ganti. Biasanya ia menggunakan kostum santai saat berangkat dan setibanya di sebuah pondok gubuk di atas salah satu bukit barulah ia mengganti pakaiannya dengan seragam mengajar. Ia menyebutkan, hal tersebut dilakukannya agar seragam mengajarnya tidak kuyup terbasuh peluh.


Rentetan bukit, lebatnya semak dan terjalnya medan tidak menyurutkan langkahnya selama 17 tahun mengabdi untuk anak negeri. Dalam perjalanan, jika musim buah sudah tiba berbagai buah-buahan liar atau pun jambu mete yang berada di jalur perjalanan menjadi santapannya sembari berjalan, atau pun tanaman-tanaman yang ada di kebun warga yang dilaluinya seperti singkong pun disantapnya, tentunya dengan izin sang pemilik lahan. 


"Saya bawa air sebotol, kadang-kadang senang saya kalau musim buah, buah yang ada di pinggir jalan, seperti jambu mete atau buah lainnya itu yang saya makan," paparnya, saat dikunjungi media malam itu (2/2/2021).


Guru Ali menunjukan tiga gili (Trawangan, Meno, dan Air) dari punggung salah satu bukit yang dilaluinya saat mengajar (Gambar: Yayasan Pasir Putih)

Menyadari beban tanggungan tak akan cukup dengan gaji mengajar, Guru Ali menanam beberapa tanaman umbi-umbian di halaman rumahnya, untuk masa depan anaknya yang kini berusia enam tahun ia menanam bibit-bibit kayu di tempat yang sama. Bibit-bibit kayu tersebut diambilnya satu per satu dari hutan sewaktu perjalanan pulangnya dari mengajar. Hal tersebut dilakukannya berdasarkan nasihat dari seorang temannya.


"Kegiatan saya sepulang sekolah ya saya tanam-tanam ubi, singkong, pisang di pekarangan rumah.Terus bibit kayu saya ambil di hutan saya tanam di halaman ini juga untuk sekolah anak saya nanti kalau sudah besar," ucapnya.


Direktur Yayasan Pasir Putih, Muhammad Sibawaihi, menjelaskan sosok tetangga satu kampungnya itu. Menurutnya Guru Ali adalah orang yang tidak pernah mengeluh dengan keadaan, justru bersemangat menjalani kehidupan. Sikap bermasyarakat yang sabar, penyanyang dan ramah adalah gambaran Guru Ali di setiap benak warga Bentek. Diketahui Guru Ali juga merupakan ketua RT di kampungnya.


"Guru Ali adalah sahabat kami sejak lama, keseriusan dan kerja kerasnya dalam menjalani hidup adalah hal yang kami kagumi, sikap ramah, penyabar, lucu dan humoris adalah bentuk dia selalu bersyukur terhadap keadaan," papar Sibawaih.


Berdasarkan semangat hidup yang menerobos keterbatasan itu, Yayasan Pasir Putih kemudian berinisiatif mengabadikan pengabdian Guru Ali dalam film dokumenter karyanya "The Song of Guru Ali". Kini film dokumenter tersebut telah tayang setelah digarap sejak 2019 lalu.


"Semangat mengabdi Guru Ali, menjadi dasar ide kami untuk mengabadikan semangatnya dalam film itu," ujar Sibawaih


Ia berharap, semangat Guru Ali dapat menjadi motivasi bagi guru-guru yang lain, baginya pengabdian bukan tentang bukan tentang materi, status kepegawaian dan penghasilan, tapi tentang masa depan anak negeri dan ketulusan.


"Semoga Guru Ali dapat menjadi motivasi untuk semua guru khususnya di Lombok Utara, pengabdian bukan tentang uang atau status kepegawaian, tapi tentang ketulusan," tutupnya.


Siasat dan semangat Guru Ali menangani tanggung jawabnya sebagai guru anak negeri, sebagai kepala keluarga, dan sebagai tokoh masyarakat telah memperlihatkan bagaimana sosok Oemar Bakrie Lombok Utara ini tidak menyerah oleh keadaan dan tidak pula mengemis pada pemerintahan. Ia berjalan dengan logika dan tindakannya, bersama lagu dan siulan merdunya. (sat)

Posting Komentar

0 Komentar