Breaking News

6/recent/ticker-posts

Bocor, Pajak Daerah Sektor Pariwisata Lombok Utara Mengkhawatirkan | Suara Bumigora

Infografis data wajib pajak dan PAD KLU

Lombok Utara, suarabumigora.com - Untuk ukuran daerah yang mengandalkan pundi-pundi dari pariwisata, basis dan kepatuhan pajak Kabupaten Lombok Utara di sektor itu rada mengkhawatirkan. Pariwisata menyumbang 62,61 persen total pendapatan pajak daerah Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Separuh lebih dari pundi-pundi pendapatan kabupaten berusia 10 tahun tersebut.


Tapi tidak sampai separuh dari total perusahaan di sektor pariwisata yang telah terdaftar pajak, patuh membayar pajak. Dari hampir separuh yang membayar pajak itu, hanya sepertiga yang rutin menyetor saban bulan. Sisanya wallahualam.


Penulusuran suarabumigora.com menemukan, ratusan wajib pajak belum menunaikan tunggakannya kepada daerah. Sebagian bahkan belum terdaftar sebagai wajib pajak, kendati telah berusaha di sektor itu bertahun-tahun.


Kelalaian pengusaha, kurangnya petugas pajak, dan sistem pembayaran yang masih mengandalkan loket fisik di kantor-kantor BKP di setiap kecamatan, membuat potensi besar pendapatan pajak dari sektor pariwisata di Lombok Utara tidak pernah utuh. Ditambah musibah gempa bumi 2018 dan pandemi covid-19 sepanjang 2020, kebocoran itu makin dalam menghantam dapur keuangan pemerintah kabupaten. Liputan ini terselenggara berkat kerjasama Tempo Institute, Tempo, Suara Bumigora, dan The Prakarsa.

***


Aula besar di samping sawah itu kosong melompong. Aula sebesar itu biasanya sanggup menampung enam puluh pelanggan sekaligus. Dampak pandemi covid-19 masih terasa di Lombok Utara sampai pertengahan Desember 2020.


Pada Selasa siang itu, 15 Desember 2020, hanya beberapa pelanggan yang singgah di rumah makan Ima Rasa, kawasan Gangga, Lombok Utara. Ima Rasa sudah tiga tahun berdiri. Tapi restoran milik Nurhalim itu baru setahun pindah ke kawasan Gangga. 


Menyuguhkan menu rumahan seperti lalapan ikan, ayam, bebalung, dan aneka kopi, omzet restoran ini diperkirakan mencapai Rp 1 juta per hari. Sebulan sampai Rp 30 juta. Dan setahun telah lewat Rp 300 juta.


Dengan omzet sebesar itu, Ima Rasa telah menjadi wajib pajak sektor pariwisata. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah mengatur, hotel; homestay; pesanggrahan; wisma; rumah kos dan lainnya yang memiliki minimal 10 kamar; restoran; rumah Makan; tempat Hiburan; yang memiliki omzet minimal Rp 300 juta per tahun, wajib membayar pajak daerah. Besarnya sepuluh persen dari omzet untuk hotel, penginapan, restoran dan rumah makan, dan lima belas persen untuk tempat hiburan.


Tapi pengakuan Nurhalim mengejutkan. Ia mengaku, rumah makannya belum menjadi wajib pajak daerah kabupaten Lombok Utara. Nurhalim mengaku tidak tahu urusan pajak. Petugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Lombok Utara juga tidak pernah datang ke Nurhalim, menjelaskan kewajibannya. “Selama ini saya kurang tahu bagaimana persoalan pajak, petugas juga belum ada yang datang ke sini,” ujar Nurhalim. 


Nurhalim dan rumah makan miliknya adalah potret dari lemahnya data perpajakan di Kabupaten Lombok Utara. Dua instansi di Kabupaten Lombok Utara bahkan memegang data yang berbeda. Badan Pendapatan Daerah Lombok Utara mencatat, baru ada 1.318 usaha pariwisata yang telah menjadi wajib pajak daerah. Sebanyak 1.122 badan usaha sudah diperiksa. Masih ada 196 wajib pajak yang belum diperiksa untuk tahun pajak 2019.


Dari jumlah tersebut, Kepala Badan Penerimaan Daerah KLU Hermanto mengatakan, hanya 655 badan usaha yang membayar pajak. Dari angka itu sebanyak 204 badan usaha rutin membayar pajak setahun penuh selama dua belas kali pada 2019, dan 451 badan usaha hanya membayar beberapa kali dalam setahun. Total setoran pajak mereka sebesar Rp 52 miliar. “Ada juga yang tidak membayarkan sama sekali,” ungkap Hermanto.


Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Utara mencatat data berbeda. Menurut dinas ini, jumlah badan usaha--yang telah dan belum menjadi wajib pajak—mencapai 1.596. Artinya masih ada 278 badan usaha yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. “Itu data kami sampai tahun 2020,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KLU, Vidi Eka Kusuma, awal Desember 2020.


Suryadin, Kepala Bidang Pendataan Bapenda KLU mengakui mereka belum memutakhirkan data wajib pajak sektor pariwisata. Pemutakhiran data terakhir terjadi pada 2019. Suryadin mengklaim, Bapenda telah menjadwalkan pemutakhiran data, namun terkendala pandemi. Selain terkendala kondisi, pemerintah daerah juga menggeser anggaran pemutakhiran untuk penanganan pandemi. “Hingga saat ini kami belum bisa berbuat apa-apa. Tapi di tahun depan sudah kami cantumkan anggaran untuk pendataan dan pemutakhiran data,” kata Suryadin.


Suryadin mengklaim, mereka rutin memperbaharui data, sebagai upaya memonitor perkembangan wajib pajak sebelumnya, dan memasukan data wajib pajak baru. Data basis wajib pajak diperbarui sesuai dengan temuan di lapangan.


“Dari pendataan ini ada kita temukan wajib pajak baru, dan ada pula usaha lama misalnya tapi berubah nama atau status kepemilikan,” ujar Suryadin.


Gara-gara pandemi dan realokasi anggaran, ada 196 badan usaha pariwisata yang belum sempat diperiksa kewajiban pajaknya. Ini yang membuat penerimaan pajak KLU dari sektor pariwisata pada 2019 mentok di angka Rp 52 miliar. “Semoga keberlanjutan pemeriksaan 2019 terealisasi awal 2021,” tambah Suryadin.


Sektor pariwisata sudah lama menjadi tumpuan pendapatan Kabupaten Lombok Utara. Terutama sejak tiga gili mereka, Air, Meno, dan Trawangan menjadi destinasi wisata yang cukup mendunia. Pada tahun lalu, dari total pendapatan pajak daerah sebesar Rp 82 Miliar, sebanyak 62,61 persen atau Rp 52 miliar berasal dari pajak pariwisata.


Namun demikian, pajak dari sektor pariwisata dalam lima tahun terakhir fluktuatif. Penyebabnya beragam. Seperti gempa yang menggoyang Nusa Tenggara Barat pada 2018. Sebelum gempa, penerimaan dari sektor pariwisata naik stabil.


Pada 2015, penerimaan pajak dari sektor pariwisata mencapai Rp 40,4 miliar. Setahun kemudian menjadi Rp 54,5 Miliar. Dan, setahun sebelum gempa, pada 2017 mencapai Rp 65,5 miliar. Ketika gempa terjadi pada 2018, pajak pariwisata pada waktu itu anjlok tinggal Rp 45,3 miliar.


Goncangan gempa membekas sampai sekarang. Pada Selasa, 8 Desember 2020, Said masih sibuk dengan sangkar burung yang berserakan di rumahnya di Gili Air. Bungalow milik Said rontok diterjang gempa 2018. Said masih berusaha merenovasi bungalownya, dan menjalankan usahanya tersebut meski tidak semaksimal sebelum gempa.


Tapi hasilnya tidak pernah sama lagi. Walhasil, dia tidak pernah membayar pajak lagi. “Terakhir tiyang (saya) membayar pajak itu sebelum gempa 2018. Rutin tiyang bayar ke petugas di kantor BKP atau petugas yang mengunjungi,” kata Said, sambil menunjukan belasan kamar bungalow yang nihil tamu. 


Petugas pajak Bapenda KLU masih rutin menyambangi Said. Said tak pernah lari dan mengelak. “Mau bagaimana lagi. Tiyang tidak punya uang untuk membayar utang pajak tahun lalu,” kata Said. “Tiyang bersyukur ada petugas pajak yang datang. Setidaknya ada orang yang menemani tiyang bicara.” Said berusaha menertawakan kondisinya.


Pandemi covid-19 membuat kondisi Said dan Lombok Utara makin parah. Sempat pulih dan bangkit dari bencana gempa 2018, pendapatan pajak dari pariwisata pada 2019 naik lagi jadi Rp 52,5 miliar. Seperti banyak daerah yang mengandalkan pariwisata, Lombok Utara berharap banyak pada 2020. Tapi pandemi merenggut harapan itu. Hingga 11 Desember 2020, penerimaan pajak dari pariwisata baru Rp 15,3 miliar.


Lesunya pariwisata Lombok Utara, yang menjadi denyut pendapatan daerah, terlihat pula di Gili Trawangan. Pulau kecil berbukit itu masih seperti kota mati pada awal Desember 2020. Ketua Gili Hotel Association (GHA), Lalu Kusnawan, yang mengelola sebuah hotel bintang tiga di gili tersebut, mengaku sejak November 2020 hingga awal Desember, baru enam kamar hotelnya yang terisi. Guna mengurangi beban operasi, Kusnawan mempekerjakan karyawannya bergantian.


Tapi untuk urusan pajak, Kusnawan mengaku tertib. Sebelum pandemi, saban tahun dia merogoh kurang lebih Rp 900 juta untuk membayar pajak hotelnya. Angka itu ia dapat dari buku keuangan hotel, yang ia cocokan dengan peraturan daerah. Kusnawan menggunakan jasa konsultan untuk perhitungan dan pembayaran pajaknya. “Nanti mereka yang membayar ke Bapenda,” jelas Kusnawan.


Salah seorang pengelola hotel di Kecamatan Tanjung, Zaki, juga mengaku rutin membayar  pajak perhotelan saban tahun. Setiap tahun dia rata-rata membayar pajak Rp 100 juta. Tapi berbeda dengan Kusnawan yang menggunakan jasa konsultan, Zaki lebih memilih mempercayakan urusan pajak hotelnya kepada akuntan hotel. Zaki mengaku akuntannya bisa menghitung sendiri kewajiban pajak hotelnya. “Yang menentukan besaran pajak sebenarnya tergantung pendapatan hotel juga. Bisa kita hitung sendiri dari pembukuan, tidak sulit kok,” papar Zaki, awal Desember 2020.


Sahabudin, seorang yang mengurus kewajiban pajak salah satu hotel dan restoran di Gili Trawangan, menjelaskan ia membayarkan pajak daerah untuk hotel dan restoran tersebut dengan nilai variatif sesuai pemasukan hotel. Setiap bulan Sahabudin menandatangani kwitansi pembayaran pajak sekitar Rp 80-Rp 100 juta.


Dari Sahabuddin, Zaki dan Kusnawan itulah kami mendapati sistem pembayaran pajak daerah di Lombok Utara yang masih manual turut mempengaruhi tingkat kepatuhan. Wajib pajak masih harus datang ke loket di Kantor Bapenda KLU atau kantor BKP di masing-masing kecamatan terdekat untuk membayar. “Barangkali itu yang mengakibatkan wajib pajak di tiga gili terhambat menyetorkan pajak,” kata Kepala Bidang Pendapatan Bapenda KLU, Arifin. “Jauh dan harus naik perahu—untuk ke daratan Lombok.”


Bagi sebagian wajib pajak, sistem pembayaran manual tidak menjadi masalah. Subur misalnya. Meski harus melakukan perjalanan sekitar sejam, termasuk naik perahu ke Pelabuhan Bangsal di Kecamatan Pemenang, pemilik Biba Beach Village di Gili Air ini mengaku selalu membayar pajak usahanya tepat waktu. Maklum dia kebetulan bekerja di kantor Kecamatan Pemenang, dekat dengan tempat loket BKP berada. “Membayar pajak tak ubahnya seperti perjalanan ke kantor sehari-hari,” katanya.


Tapi tak sedikit yang karena berbagai alasan tidak dapat rutin menyeberang ke kantor kecamatan, seperti Said. Dia mengaku sudah tidak muda lagi sehingga jarang sekali pergi ke kantor kecamatan untuk membayar pajak hotelnya. Petugas Bapenda KLU yang tahu akan situasi itu akhirnya menjemput kewajiban Said ke Gili Air.


Bapenda bukannya tak menyadari masalah laten pembayaran pajak secara manual ini. Bapenda sedang berdiskusi dengan Bank Pembangunan Daerah NTB untuk menciptakan sistem pembayaran pajak secara online, yang bisa diakses lewat anjungan tunai mandiri atau ponsel. Kepala Bidang PBB Bapenda KLU, Darmawan mengatakan, Bapenda menargetkan sistem pajak online itu bisa digunakan mulai 2021. “Desember 2020 akan kami uji coba,” Darmawan.


Menutup kebocoran pajak sudah jadi keniscayaan. Pandemi covid-19 membuat hukumnya makin mendesak. Agar tulang punggung penerimaan Lombok Utara itu tidak patah. (sat)

Posting Komentar

0 Komentar